SAMARINDA – Badan Pusat Statistik (BPS) merilis data persentase penduduk miskin di Indonesia per Maret 2023. Data tersebut menunjukkan angka kemiskinan di Kalimantan Timur (Kaltim) naik menjadi 6,11 persen dari 5,51 persen pada September 2022.
Angka ini masih di bawah rata-rata nasional yang mencapai 9,36 persen, namun lebih tinggi dari provinsi terendah yaitu Bali dengan 4,25 persen. Sementara Papua masih menjadi provinsi dengan angka kemiskinan tertinggi yaitu 26,03 persen.
Menanggapi data tersebut, Wakil Ketua Komisi IV DPRD Kaltim Puji Setyowati mengatakan ada banyak faktor yang mempengaruhi tingkat kemiskinan di Kaltim. Salah satunya kurangnya lapangan pekerjaan yang tersedia bagi masyarakat, terutama di sektor pertanian dan perkebunan.
“Kita punya banyak potensi sumber daya alam, seperti pisang, singkong, ubi, dan lain-lain. Tetapi kita tidak mengolahnya sendiri, melainkan mengirimnya ke luar pulau. Kemudian hasil olahannya dikirim kembali ke Kaltim dengan harga yang jauh lebih tinggi,” ujarnya.
Puji mencontohkan, pisang yang dibeli di Kaltim dengan harga 50 ribu rupiah per kilogram, setelah diolah menjadi berbagai produk, seperti kripik, dodol, atau sale, harganya bisa mencapai 5 juta rupiah per kilogram.
“Ini artinya kita kehilangan nilai tambah dari produk kita sendiri. Padahal kalau kita bisa mengolahnya di sini, kita bisa menciptakan lapangan pekerjaan dan meningkatkan pendapatan masyarakat,” katanya.
Oleh karena itu, Puji mendorong pemerintah untuk menggarap hilirisasi, yaitu pengolahan sumber daya alam menjadi produk jadi yang memiliki nilai ekonomi lebih tinggi.
“Pemerintah harus berkomitmen untuk mengurangi tingkat kemiskinan di Kaltim dengan menciptakan hilirisasi. Caranya adalah dengan mendirikan pabrik-pabrik pengolahan yang sesuai dengan potensi daerah. Misalnya, pabrik pengolahan pisang, singkong, ubi, dan lain-lain,” katanya.
Puji juga mengatakan perbaikan infrastruktur dan konektivitas juga penting untuk mengatasi kemiskinan. Menurutnya, banyak petani di daerah terpencil yang kesulitan menjual hasil panennya ke pasar karena akses jalan yang buruk.
“Biaya transportasi mereka bisa lebih mahal dari harga hasil panennya. Ini membuat mereka tidak bisa bersaing dengan produk dari luar. Akibatnya, mereka tidak bisa meningkatkan kesejahteraan mereka,” katanya.
Puji berharap Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kaltim bisa dimanfaatkan untuk memperbaiki infrastruktur dan konektivitas. Tidak hanya di perkotaan, tetapi juga di desa-desa. “Ini penting untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan mengurangi kesenjangan antara kota dan desa. Dengan demikian, kita bisa menurunkan angka kemiskinan di Kaltim,” katanya. (adv/dprdkaltim)